Teknologi EFI (Electronic Fuel Injection) sebenarnya tidak dapat
dikatakan sebagai teknologi yang terbaru, karena teknologi ini sudah
diterapkan beberapa tahun lalu. Dan EFI sebenarnya baru diterapkan pada
kendaraan keluaran dasawarsa 1990-an.
Sebagaimana dijelaskan Achmad Rizal R, seorang yang mengerti tentang product planning, penggunaan EFI saat itu masih terbatas pada jenis sedan (passenger car).
Baru di akhir 1990-an dan awal 2000, kendaraan tipe minivan seperti
Kijang atau SUV ikut mengadopsi. Pada era sekarang istilah EFI mulai
memperoleh saingan: PGM-FI, EPFI, ECFI, T-DIS, VVT-i, i-VTEC, MIVEC,
VANOS, Valvetronic, dan sebagainya.
Istilah-istilah itu kemudian diangkat oleh para pabrikan mobil sebagai salah satu nilai jual produk mereka.
Teknologi EFI sebetulnya erat kaitannya dengan sistem manajemen engine (SME). Engine di
sini bukan dalam arti mesin, terjemahan dari kata machinery, melainkan
motor bakar. Di sinilah bahan bakar minyak (BBM) dicampur dengan udara
untuk menghasilkan gaya gerak yang membuat mobil bisa melaju.
SME muncul seiring dengan menipisnya persediaan bahan bakar minyak sehingga menuntut engine yang semakin efisien tanpa kehilangan kinerja yang dihasilkannya.
Selain itu juga adanya tuntutan untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup, terutama akibat polusi udara.
Oleh karena tuntutan itu, para ahli engine di setiap perusahaan otomotif dan perusahaan konsultan rekayasa setiap hari berusaha menemukan cara meningkatkan efisiensi engine yang ada.
Untuk mencapai tujuan itu, para pabrikan berlomba-lomba mencari dan
menerapkan banyak teknologi baru. Mulai dari peralatan dan perlengkapan
yang digunakan untuk mendesain engine, pencarian dan penggunaan
material baru, terobosan dalam proses produksi, dan yang terpenting,
campur tangan kontrol elektronik dan komputer untuk mengatur kinerja engine dan peralatan pendukungnya.
Engine yang ideal membakar jumlah bahan bakar sesuai dengan
kebutuhan serta menyalakan busi pada saat yang tepat sesuai dengan
kondisi operasi. Dari sini didapatkan efisiensi pemakaian bahan bakar
yang optimal pada setiap kondisi operasi dari engine. Kondisi ini akan menghasilkan emisi gas buang lebih baik.
Sebelum muncul sistem EFI, untuk mencampur bahan bakar dengan udara
digunakan karburator. Dalam karburator ini bahan bakar dikabutkan
sebagai akibat dari isapan vakum dari venturi. Proses ini mirip
semprotan obat nyamuk bertipe pompa. Namun, sebagai alat yang murni
mekanikal, karburator punya keterbatasan sehingga hanya efektif pada
daerah operasi tertentu. Sehingga karburator dirancang efektif untuk engine putaran
tinggi alias mobil sport. Jadi, tidak cocok untuk dipasang pada mobil
minivan yang lebih mementingkan torsi dan tenaga di putaran bawah dan
menengah.
Begitupun dengan sistem pengapian, arus listrik dari ignition coil disalurkan
ke masing-masing busi melalui distributor. Di sini terdapat mekanisme
untuk memajukan atau memundurkan waktu pengapian agar sesuai dengan
kondisi engine, yang merupakan gabungan dari vacuum advancer dan centrifugal advancer.
Namun, sebagaimana karburator, sistem distributor konvensional ini juga
punya keterbatasan, karena hanya optimum pada daerah operasi yang
terbatas sesuai dengan karakteristik engine.
Mengingat keterbatasan sistem mekanis itu, para perekayasa berusaha
menggabungkan sistem mekanis dengan kontrol elektronik. Gunanya agar
diperoleh fleksibilitas yang lebih dalam daerah operasinya sehingga
menghasilkan engine dengan kinerja optimum dalam daerah operasi yang lebih luas. Lahirlah apa yang disebut SME tadi.
SME kemudian menjadi perlengkapan wajib bagi mobil-mobil modern. Karena
merupakan komponen penting, para pabrikan membungkusnya dalam nama yang
berbeda dari pabrikan lain. Toyota dan Daihatsu memberi nama Electronic
Fuel Injection alias EFI, sedangkan nama Bosch Motro-nic dipakai oleh
BMW dan Peugeot.
Pendahuluan Tentang Sistim EFI
00.38 |
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar